Bullying di Mts Sindue: Damai Rp15 Juta, Ibu Korban Murka dan Berjanji Mengejar Keadilan

e2cb42cd-0031-4843-9eab-aa12d921bc7b
Ilustrasi/Ai.

Faktasulteng.id, Donggala – Pagi itu, Rabu 10 September 2025, suasana di MTs Alkhairaat Sumari, Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala, mendadak ricuh.  Insiden bullying terjadi, usai kegiatan Cek Kesehatan Gratis (CKG) di sekolah tersebut. Seorang siswi, NA, menjadi sasaran perundungan. Kepala ditokok, rambut ditarik, hingga bajunya dibuka di depan teman-teman. Bukan hanya fisik yang tercabik, rasa malu pun menempel di tubuh remaja yatim itu.

Tiga hari berselang, 13 September 2025, meja perundingan digelar. Di ruang sederhana, hadir guru, perangkat desa, dan Ketua PGRI Cabang Sindue. Dari situ lahirlah selembar Berita Acara Kesepakatan Damai. Pihak pelaku, lewat orang tuanya, mengaku bersalah, meminta maaf, dan berjanji tidak akan mengulang. Sebagai bentuk tanggung jawab, mereka menyanggupi membayar Rp15 juta sebagai biaya pengobatan, dengan tenggat dua minggu, 13–26 September 2025.

BACA JUGA  Keracunan Massal Program MBG di Palu, Publik Masih Menunggu Kejelasan

Di atas kertas, kasus itu selesai. “Perdamaian dilakukan atas dasar kesadaran tanpa paksaan,” begitu bunyi dokumen bermaterai itu, lengkap dengan tanda tangan saksi: Kepala Madrasah, Kepala Desa Sumari, hingga Kepala Desa Kumbasa desa asal korban.

Tapi publik belum sempat menarik napas lega ketika sebuah video beredar di media sosial. Dalam rekaman itu, seorang perempuan yang disebut sebagai ibu kandung NA, meluapkan amarah. Ia merasa tidak dilibatkan dalam proses damai yang dibuat oleh wali korban, Suhlin. Kata-katanya meluncur deras, penuh getir:

Saya tidak ambil senang anak ku dibikin begitu dan seenaknya mau atur damai. Saya akan segera berangkat ke Pantai Barat untuk menindak lanjuti persoalan ini. Saya tidak terima anak ku dikasi begitu, dibuka semua bajunya, dikasi malu, ditoki kepalanya, rambutnya ditare. Saya tidak terima anakku dikasi begitu. Tunggu kau disitu, saya datang disitu, saya cari kau itu,” ujarnya dengan suara bergetar namun tegas.

BACA JUGA  1.107 Mahasiswa Universitas Tadulako Diwisuda, Pemprov Sulteng Tegaskan Komitmen Dukung Pendidikan

Pernyataan itu membelah narasi. Satu sisi, perdamaian administratif sudah diteken. Sisi lain, suara ibu kandung korban justru menolak damai, merasa keadilan belum menyentuh putrinya. Apalagi, NA adalah anak yatim: ayahnya telah lama tiada, sementara ibunya merantau.

Kementerian Agama Sulawesi Tengah pun turun tangan. Plt. Kakanwil Kemenag, Mochlis, menyatakan penyesalan. “Kami sangat menyayangkan bullying ini terjadi di lingkungan madrasah. Ke depan, pengawasan kepada kepala-kepala madrasah akan ditingkatkan, agar peristiwa serupa tidak terulang,” katanya kepada Faktasulteng lewat pesan singkat WhatsApp.

Nada serupa datang dari Kepala Kemenag Donggala, Haerullah Arief. Awalnya ia enggan bicara banyak, dengan alasan Kasi Pendis sedang menuju lokasi. Beberapa jam kemudian, ia mengirimkan hasil pertemuan yang mengonfirmasi adanya kesepakatan damai dan ganti rugi Rp15 juta. Sementara Kepala MTs Alkhairaat Sumari, hingga berita ini ditulis, belum memberikan jawaban.

BACA JUGA  Program Indonesia Mengajar di Kabupaten Sigi Resmi Ditutup, Pengajar Muda Angkatan XXI–XXVII Kembali ke Daerah Asal

Terkadang, perdamaian kerap dimaknai sebagai jalan tengah, menutup keributan agar tak berlarut. Tapi kasus ini menyisakan tanda tanya. Apakah angka Rp15 juta cukup untuk membayar rasa malu seorang anak? Apakah tanda tangan di atas materai cukup mengganti suara ibu yang merasa tersisih?

Yang jelas, di luar ruang perundingan, suara seorang ibu kini bergema lebih keras dari cap jempol di atas kertas: menuntut agar martabat anaknya dikembalikan, bukan sekadar dibayar dengan rupiah. (Apri)

MeldWP – Premium WordPress Themes & Plugins Matrix Reloaded İzle