Faktasulteng.id, Palu – Di sebuah ruang rapat sederhana pada Senin siang (15/9/2025), Asisten III Wali Kota Palu, Imran, membuka penjelasannya dengan wajah tenang. Di luar gedung, riuh warganet masih bergulir: logo Hari Ulang Tahun (HUT) ke-47 Kota Palu diduga mirip dengan logo PT Pupuk Kalimantan Timur.
“Kalau dilihat sepintas memang mirip,” kata Imran, tidak berusaha menghindar. “Tapi kalau diteliti lebih dalam, ada perbedaan. Misalnya pada tarikan angka empat dan tujuh, bentuknya tidak sama.”
Sejak logo dipublikasikan, perdebatan ramai meletup di media sosial. Warga mempertanyakan kreativitas pemerintah kota yang dianggap minim orisinalitas.
Namun, Imran bersikukuh bahwa Palu punya “DNA” sendiri dalam logo itu. Kuncinya ada pada kelor—tanaman yang selama ini diklaim sebagai identitas khas Kota Palu. “Elemen kelor memang tidak terlalu menonjol jika dicetak kecil. Tapi kalau diperbesar, jelas terlihat,” ujarnya.
Ia menambahkan, kelor bukan sekadar tempelan visual. Pemerintah kota sudah menetapkan kelor sebagai simbol resmi dengan hak legalitas. Karena itu, meski ada kesan mirip, ia menolak anggapan penjiplakan. “Mungkin desainer terinspirasi, tapi bukan berarti menjiplak. Ciri khas kita tetap kelor,” kata Imran.
Inspirasi atau Imitasi?
Keterangan Imran seolah menegaskan dilema lama: batas tipis antara terinspirasi dan meniru. Dalam kasus logo HUT Kota Palu, pemerintah mengakui desain dibuat oleh tim khusus. Tetapi mekanisme evaluasi tampak longgar.
Imran menyebut kasus ini menjadi pelajaran penting. “Ke depan harus ada koreksi lebih teliti agar tidak menimbulkan persepsi menjiplak,” katanya.
Bagi publik Palu, ini bukan kali pertama persoalan serupa mencuat. Pada akhir 2022, patung di Bundaran Taman Kota Palu di Jalan Hasanuddin sempat memicu gelombang kritik. Patung tersebut disebut-sebut meniru landmark di Colorado, Amerika Serikat. Begitu miripnya hingga warganet berseloroh: Palu dan Colorado seperti dihubungkan portal dimensi yang sama.
Identitas yang Rapuh
Dua kasus ini menyingkap persoalan lebih dalam: pencarian identitas visual Kota Palu. Kelor yang dipromosikan sebagai simbol daerah belum sepenuhnya menjawab rasa ingin tahu publik akan kreativitas lokal.
Di era ketika kota-kota berlomba menciptakan ikon unik, Palu justru terjebak dalam bayang-bayang tuduhan plagiasi. Pemerintah memang berusaha meluruskan, tetapi publik tetap menuntut kejelasan: apakah kota ini benar-benar punya wajah khas, atau hanya sekadar menempelkan label kelor pada desain yang samar?
Untuk saat ini, Pemkot Palu menutup isu dengan satu kesimpulan: “Tidak ada niat meniru.” Namun, seperti pengalaman patung di bundaran, sejarah bisa saja berulang. Dan setiap kali, Palu harus menjawab pertanyaan yang sama: apa sebenarnya identitas visual kota ini? (Abdy/Apri)
Leave a Reply