Faktasulteng.id, Morowali – Suasana ruang pertemuan PT BTIIG, salah satu entitas di bawah PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), pada Jumat siang, 23 Agustus 2025, sempat hening ketika anggota Komisi II DPRD Sulawesi Tengah, Marlela, mengangkat isu krusial: potensi kebocoran penerimaan pajak daerah dari sektor bahan bakar.
“Ini cukup memprihatinkan. Ada potensi penerimaan yang hilang hingga Rp500 miliar,” ujar Marlela dengan nada serius. Angka itu, kata dia, bukan sekadar perkiraan, melainkan sesuai dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB).
Apresiasi dan Catatan
Di awal pertemuan, Marlela menyampaikan apresiasi kepada PT IMIP yang selama ini sudah menunjukkan kerja sama dengan pemerintah dalam pemungutan beberapa jenis pajak, seperti Pajak Air Permukaan (PAP) dan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21). Menurutnya, kontribusi tersebut patut dipertahankan sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan.
Namun, ia menekankan bahwa perhatian DPRD kali ini lebih tertuju pada PBB-KB, mengingat di lingkungan PT IMIP beroperasi ratusan vendor dan kontraktor yang banyak menggunakan bahan bakar minyak (BBM). Marlela berharap perusahaan dapat berperan aktif membantu pemerintah provinsi dalam pemungutan pajak tersebut.
“Kami ingin diskusi ini bisa menghasilkan solusi yang efektif dan efisien. Misalnya, bagaimana cara pendataan kendaraan, menghitung kebutuhan bahan bakar, sekaligus mekanisme pemungutan agar tidak ada yang terlewat,” katanya.
Pajak Alat Berat dan Kendaraan Luar Daerah
Selain isu PBB-KB, Marlela secara khusus menyoroti praktik penggunaan kendaraan dan alat berat di kawasan PT BTIIG yang masih menggunakan pelat nomor dari luar Sulawesi Tengah. Kondisi ini berdampak pada potensi penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Pajak Alat Berat (PAB) yang seharusnya bisa masuk ke kas daerah.
Ia meminta PT BTIIG membantu pemerintah daerah memastikan seluruh kendaraan dan alat berat yang beroperasi di lingkungan perusahaan memenuhi aturan perpajakan daerah. “Datanya sebenarnya sudah ada. Tinggal bagaimana perusahaan ikut membantu agar pelaksanaannya bisa berjalan dengan baik,” ujarnya.
Pajak yang Hilang
Dalam forum tersebut, Marlela menyoroti adanya selisih antara potensi penerimaan dan realisasi pajak yang masuk kas daerah. Ia menyebut angka Rp500 miliar sebagai indikasi adanya “penerimaan yang lepas” dari pengawasan.
“Kita ingin tahu bagaimana mekanismenya, apakah setiap pembelian solar industri langsung masuk ke PBB-KB atau ada celah yang membuat pembayaran tidak tercatat?” ucapnya. Ia juga meminta kejelasan apakah kewajiban membayar pajak ada di pihak kontraktor atau langsung di bawah tanggung jawab IMIP.
Tak berhenti di situ, Marlela menanyakan kebutuhan riil bahan bakar perusahaan. “Berapa sebenarnya kebutuhan per bulan? Apakah dalam hitungan kiloliter? Data ini penting agar DPRD bisa menghitung potensi pajak secara lebih akurat,” katanya.
Dampak Sosial-Ekonomi
Sorotan terhadap pajak di IMIP juga berkaitan dengan dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan kawasan industri tersebut. Kehadiran IMIP memang membuka lapangan kerja dan memicu pertumbuhan ekonomi Morowali, namun di sisi lain juga menimbulkan beban infrastruktur dan lingkungan. Jalan rusak, tekanan terhadap layanan publik, hingga ketimpangan sosial menjadi isu yang kerap muncul.
“Kalau pajak yang dibayarkan sesuai dengan potensi, ruang fiskal pemerintah daerah akan lebih besar untuk memperbaiki layanan publik,” ujar Marlela.
Harapan DPRD

Di akhir pertemuan, Marlela menegaskan bahwa DPRD tidak dalam posisi menghakimi perusahaan, melainkan mendorong kolaborasi yang lebih erat. Ia berharap kerja sama yang sudah berjalan baik selama ini bisa terus Delantae, sembari memberi ruang bagi perusahaan untuk menyampaikan kendala yang dihadapi.
“Kalau ada hal yang perlu dibantu, silakan sampaikan. Komisi II siap menyuarakan kepentingan itu sepanjang sejalan dengan aturan dan kepentingan daerah,” katanya.
Dengan begitu, kata dia, industri bisa tetap berkembang, sementara hak-hak daerah dalam bentuk PAP, PAB, PBB-KB, PKB kendaraan plat luar Sulteng, maupun PPh 21 juga terjamin.
“Ini bukan soal mencari-cari kesalahan,” ujar Marlela. “Ini soal memastikan hak daerah tidak hilang di tengah derasnya arus investasi.” *Ap
Leave a Reply