Sulawesi Tengah, Faktasulteng.id – Di jantung Pulau Sulawesi yang berbentuk unik, membentang sebuah wilayah yang oleh para penjelajah zaman dahulu diibaratkan sebagai “leher”. Tanah genting ini, yang kini sebagian besar masuk dalam wilayah Kabupaten Donggala, menyimpan jejak-jejak interaksi masa lalu antara pesisir barat dan timur. Lebih dari sekadar bentangan alam, wilayah ini dulunya diramaikan oleh jalur-jalur setapak yang menghubungkan dua dunia yang berbeda. Adalah R. Boonstra van Heerdt, seorang kapten staf umum Afdeeling Midden Celebes, yang melalui laporan eksplorasinya yang mendalam pada tahun 1911-1912, menguak keberadaan jaringan jalur terusan ini. Dalam tulisannya yang terbit di Tijdschrift van Het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap tahun 1914, Boonstra mencatat tak kurang dari 12 jalur yang melintasi “leher” pulau ini, membentang dari Palu hingga Buol. Namun, fokus kita kali ini tertuju pada sembilan jalur yang melintasi kawasan yang kini dikenal sebagai pantai barat Kabupaten Donggala, saksi bisu mobilitas dan kehidupan di masa lampau.

Salah satu jalur yang paling jelas tergambar dalam catatan Boonstra adalah jalur Tawaeli – Toboli. Pemerintah kolonial bahkan telah menentukan rute jalan ini, meskipun awalnya hanya berdasarkan survei pegunungan yang umum. Meski demikian, Boonstra mengakui pemilihan jalur ini cukup baik, dengan prospek jalan yang lebih lurus di masa depan. Perjalanan dari sisi Toboli menanjak melalui hamparan alang-alang dan lereng bukit, sebelum berkelok-kelok menembus pegunungan yang sepi. Di ketinggian, dekat mata air pegunungan yang segar, terdapat sebuah gerbang batu alami, seolah menjadi pintu masuk menuju panorama Teluk Palu yang memukau. Setelah melewati “gerbang” ini, lanskap teluk biru jernih terbentang di hadapan mata, berlatar pegunungan tinggi yang melandai anggun dari Gawalise hingga Tanjung Karang. Di kedua ujungnya, jalan lebar dan lurus menyambut, menghubungkan pantai dengan kaki gunung, sebuah rute yang dapat ditempuh dengan berkuda dalam waktu sekitar enam jam.
Berbeda dengan jalur Tawaeli-Toboli yang relatif terdefinisi, jalur Labuan – Pombesoa justru digambarkan oleh Boonstra sebagai jalur yang jarang atau bahkan tidak pernah digunakan, dan dianggap tidak memiliki nilai signifikan sebagai jalan raya. Akses menuju jalur ini dimulai dari Labuan, menyusuri jalan setapak melalui kebun kelapa menuju permukiman kecil Roto. Selanjutnya, jejak kaki akan menuntun menyusuri hulu Sungai Takuwano hingga mencapai sumbernya di Gunung Sumau. Setelah melintasi daerah aliran sungai, jalur menurun menuju dataran dan bertemu dengan aliran kecil Sungai Pombesoa, mengikutinya hingga mendekati pantai. Gambaran ini seolah melukiskan jalur yang lebih berupa lintasan alami ketimbang jalan yang terawat.
Menariknya, di sekitar jalur Alindau – Toribulu, Boonstra menyebutkan keberadaan dua atau tiga jalur terusan lainnya yang menghubungkan Tibo dan Ampibabo. Jalur Alindau sendiri mengikuti alur Sungai Alindau, kemudian menyusuri anak Sungai Ompopi menuju hulu. Pada ketinggian yang tak sampai 600 meter, jalur melintasi aliran sungai dan kemudian menurun ke jurang Sungai Tanasa. Di dekat permukiman Toriogo, jalur ini bertemu dengan jalur yang berasal dari Tondo, sebelum akhirnya menyambung menjadi jalan yang lebih baik menuju Tasiendja dan berakhir di Toribulu. Pertemuan jalur ini mengindikasikan adanya simpul-simpul pergerakan dan interaksi antar wilayah.
Jalur Tondo – Toribulu menawarkan gambaran perjalanan melintasi dataran dari Tondo, melewati kelompok-kelompok rumah penduduk menuju Sungai Siwayu. Kemudian, jalur menyusuri alur sungai ke hulu hingga pertemuan dengan Sungai Enei yang dipenuhi bebatuan besar. Dari sana, pendakian menyusuri Sungai Enei menuju hulunya di Gunung Bukaja (sekitar 604 meter) menjadi tantangan tersendiri. Di sisi lain gunung, jalur mengikuti aliran Sungai Siboloto yang melewati Toriogo, tempat ia bergabung dengan jalur menuju Tasiendja dan akhirnya mencapai Toribulu. Kontur jalur ini yang naik turun mengikuti aliran sungai dan pegunungan tentu membutuhkan ketangguhan para penggunanya.
Perjalanan melalui jalur Tompe – Donggulu digambarkan sebagai menyusuri jalan setapak di tepi kanan Sungai Tompe, melewati hamparan pohon kelapa dan ladang hingga mencapai hulu sungai di Gunung Panambaila (sekitar 890 meter). Setelah melintasi daerah aliran sungai, jalur bertemu dengan Sungai Taipa yang kemudian menyatu dengan Sungai Lamudja Pana. Di Lobo, jalur meninggalkan alur sungai dan beralih menuju jalan yang lebih baik yang mengarah ke Tajio, dan akhirnya mencapai Donggulu. Perubahan jenis jalan di dekat ujung jalur mengisyaratkan adanya perkembangan infrastruktur yang berbeda di beberapa titik.
Jalur Tovia (Tovia Tambu) ke Kasimbar oleh Boonstra dianggap memiliki tipe yang serupa dengan jalur pegunungan dan sungai lainnya, namun dengan frekuensi penggunaan yang lebih tinggi karena jarak antar kedua laut yang paling dekat di wilayah ini. Ketinggian aliran sungai di jalur ini bahkan tidak mencapai 350 meter. Dari pantai Tovia, jalan yang hampir lurus membentang, sering dilalui oleh masyarakat yang menuju kebun mereka di lembah Tambu. Ketika dataran menyempit dan perbukitan dimulai, jalan setapak menyatu dengan alur Sungai Tovia menuju hulu di Gunung Halumuti. Pendakian punggung bukit yang tajam diikuti dengan penurunan curam menyusuri hulu Sungai Halumuti. Perjalanan yang memakan waktu sekitar tiga jam ini melewati kerikil, pasir, dan air, sebelum mencapai dataran berhutan lebat yang kaya akan rotan. Hutan perlahan berganti menjadi ladang dan akhirnya mencapai dataran alang-alang di dekat kampung Kasimbar. Di ujung timur Kasimbar, jalan setapak berubah menjadi jalan lintas yang lebih lebar, mengarah langsung ke pantai tempat berdirinya rumah tua Maradika. Kisah perjalanan rombongan Boonstra yang berangkat subuh dari Kasimbar dan tiba di Tovia keesokan dini hari tanpa menjumpai seorang pun di sepanjang jalan memberikan gambaran tentang sepinya jalur ini kala itu.
Jalur Siweli – Tada menghubungkan Siweli, yang terletak sedikit di pedalaman di tengah kebun kelapa dan jagung, dengan Tada di pesisir. Jalur ini mengikuti Sungai Siweli ke hulu hingga mencapai air terjun setinggi sekitar 15 meter. Di Gunung Duria, pada ketinggian 350 meter, terdapat daerah aliran sungai yang kemudian menurun ke Sungai Topoero, anak Sungai Tokolola, tempat kampung kecil Berendia berada. Sungai Tokolola sendiri merupakan anak Sungai Lambani, yang kemudian dilanjutkan dengan menyusuri Bukit Onjeng setinggi 150 meter. Turun dari bukit ini, jalur mencapai dataran dan mengarah ke Tada melewati ladang Pangkoang dengan beberapa rumah kebun.
Jalur Sioyong – Sigenti melintasi dataran di atas permukiman Lambono yang ditinggalkan. Kemudian, jalur melintasi punggung bukit rendah melalui banyak anak Sungai Weme dan Sungai Silandojo yang naik pada ketinggian 55 meter menuju Gunung Tinana. Daerah aliran sungai ini sangat dekat dengan pantai Tomini. Di sisi lain bukit, terdapat kampung Ogodjala di sisi kiri Sungai Sigenti. Menyusuri sungai ini akan membawa seseorang ke kampung Kulawi, sebuah pondok tempat tinggal suku Toraja yang mencari rotan di pegunungan, yang berjarak sekitar satu jam berjalan kaki. Daerah di atas Sigenti juga dikenal sebagai Tape. Keberadaan permukiman musiman seperti pondok rotan mengindikasikan fungsi jalur ini dalam mendukung aktivitas ekonomi tertentu.
Terakhir, jalur Sojol ke Tinombo memiliki titik awal yang beragam, bisa dari jalan beruas tiga yang dimulai dari Bambatona, muara Sungai Siboang, atau Sungai Sialipang. Namun, semua jalan ini bertemu di alur sungai di bagian tengah, yang harus diikuti ke hulu hingga air terjun setinggi sekitar 20 meter. Dari sana, jalur melintasi sungai dan mendaki Gunung Lota, melewati daerah aliran sungai yang cukup tinggi, mencapai 1500 meter. Di punggung bukit ini, jejak jalur seringkali menghilang. Dari Lota, jalur menurun curam menuju Sungai Tinombo pada ketinggian 300 meter dan mengikuti sungai ini hingga kampung Dusunan, tempat jalan menuju Tinombo berada tidak jauh. Kontur jalur ini yang melewati ketinggian ekstrem menunjukkan tantangan geografis yang signifikan.
Sembilan jalur terusan yang didokumentasikan oleh Boonstra lebih dari sekadar lintasan fisik. Mereka adalah urat nadi yang menghubungkan komunitas, menggerakkan ekonomi lokal, dan menjadi saksi bisu interaksi budaya di “leher” Pulau Sulawesi pada awal abad ke-20. Melalui catatan seorang penjelajah, kita dapat mengintip kehidupan dan lanskap masa lalu, menyadari betapa pentingnya jalur-jalur ini dalam membentuk sejarah dan identitas wilayah yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Donggala. Jejak-jejak tersembunyi ini, meski mungkin sebagian telah pudar atau berubah, tetap menyimpan kisah perjalanan dan kehidupan yang patut untuk dikenang.
Referensi:
- Journastoria. (2022, 27 Februari). 9 Jalur Terusan Antara Pantai Barat dan Pantai Timur. Diakses dari https://www.journastoria.com/2022/02/9-jalur-terusan-antara-pantai-barat-dan.html
Leave a Reply