Jurnalis Dilaporkan Ke Polisi, Lantaran Berita Dugaan Perselingkuhan Senator Sulteng. AMSI Sulteng: Kemunduran Serius Bagi Iklim Demokrasi!

Foto: IST.

PALU – Aroma kebebasan pers yang sempat menyeruak di Sulawesi Tengah kini kembali Menuai kecemasan. Hendly Mangkali, seorang jurnalis yang bertugas di portal berita Beritamorut.id, mendapati dirinya berhadapan dengan Jerat Hukum UU ITE. Gara-garanya sepele, namun dampaknya menggerogoti pilar demokrasi: sebuah berita dugaan perselingkuhan di Morowali Utara yang menyeret nama seorang anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Febrianti Hongkiriwang. Ironisnya, Febrianti, yang juga merupakan istri Bupati Morowali Utara, memilih jalur pidana dengan melaporkan Hendly ke Polda Sulteng, berlindung di balik pasal pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Langkah aparat penegak hukum yang menerima laporan ini sontak memantik reaksi keras dari kalangan pers di Sulawesi Tengah. Tiga organisasi pers di provinsi itu—Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Sulteng, Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Sulteng, dan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Sulteng—serempak mengecam tindakan yang mereka nilai sebagai bentuk pembungkaman dan kriminalisasi terhadap kerja jurnalistik yang sah.

BACA JUGA  Amran Hi Yahya dan Moh Besar Bantilan Kembali Pimpin Tolitoli

Ketua AMSI Sulteng, Mohammad Iqbal, dengan nada geram menyatakan bahwa apa yang dilakukan Hendly adalah bagian tak terpisahkan dari tugas seorang jurnalis yang dilindungi oleh Undang-Undang Pers. “Mengkriminalisasi jurnalis dengan UU ITE hanya karena membagikan karya jurnalistiknya di media sosial adalah sebuah kemunduran serius bagi iklim demokrasi di negeri ini,” ujarnya dengan penekanan.

Senada dengan Iqbal, Ketua JMSI Sulteng, Murthalib, melontarkan kecaman yang lebih pedas. Baginya, kasus Hendly bukan sekadar persoalan individu, melainkan ancaman nyata bagi keberlangsungan pers yang bebas dan berani menyuarakan kebenaran. “Jika jurnalis dikriminalisasi hanya karena memberitakan hal yang menjadi kepentingan publik, lalu siapa lagi yang akan berani mengangkat isu-isu krusial? Ini bukan hanya soal Hendly, tapi menyangkut keselamatan seluruh insan pers di daerah,” tegasnya.

BACA JUGA  Aparat Desa Binangga Dukung Penuh Program Rizal-Samuel Pongi

SMSI Sulteng pun tak ketinggalan menyuarakan keprihatinan mendalam. Melalui Sekretarisnya, Andi Attas Abdullah, mereka mendesak aparat penegak hukum untuk menghormati Undang-Undang Pers yang secara jelas mengatur mekanisme penyelesaian sengketa pers melalui Dewan Pers, bukan melalui jalur pidana. “Kami meminta dengan tegas kepada kepolisian untuk menghentikan proses hukum ini dan mengembalikannya ke koridor yang benar,” kata Andi Attas dengan nada serius.

Gelombang solidaritas pun tak terhindarkan. Ketiga organisasi pers tersebut menyerukan kepada seluruh jurnalis di Sulawesi Tengah untuk bersatu padu memberikan dukungan kepada Hendly Mangkali. Mereka juga mendesak Dewan Pers untuk segera turun tangan menelisik kasus ini secara komprehensif. Harapan besar disematkan pada kebijaksanaan aparat penegak hukum agar tidak mudah menyeret kerja jurnalistik ke ranah pidana, sebuah tindakan yang justru akan menggerogoti pilar keempat demokrasi ini.

BACA JUGA  Hadirkan Dzikir Akbar, Pemkab Sigi Harap Suasana Pasca Pilkada Dapat Kembali Harmonis

Kasus Hendly Mangkali menambah daftar panjang jurnalis di Indonesia yang terjerat pasal di UU ITE. Ironisnya, di era keterbukaan informasi ini, suara-suara kritis justru dibungkam dengan menggunakan instrumen hukum yang seharusnya melindungi dari penyebaran informasi bohong, bukan memberangus kebebasan pers yang sehat. Pertanyaannya kini, sampai kapan praktik pembungkaman dan kriminalisasi terhadap jurnalis akan terus menghantui kebebasan pers di negeri ini, khususnya di Sulawesi Tengah? Waktu akan menjawab, namun luka yang ditorehkan kasus Hendly akan menjadi catatan kelam dalam sejarah kebebasan berpendapat dan pers di Bumi Tadulako. (**)

Berita Berbasis Data