Sulteng Meradang di Senayan: “Negeri Kami Hancur, DBH Secuil!”

Foto: AH Media Center

Jakarta – Suara lantang menggema di ruang rapat senayan kala Anwar Hafid, Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) melontarkan protes keras kepada komisi II DPR RI dan Wakil Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Lantaran geram dengan ketidakadilan pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) pertambangan, sang gubernur tanpa tedeng aling-aling menggambarkan betapa “hancur-hancurannya” Sulteng akibat eksploitasi tambang yang masif, sementara pundi-pundi DBH yang diterima daerahnya bak remah-remah di meja raksasa.

“Negeri kami ‘hancur-hancuran’ tambang di mana-mana, sementara DBH cuma 222 miliar,” ujar sang gubernur dengan nada lantang yang memecah keheningan ruang rapat. Sorot matanya tajam, menyiratkan akumulasi kekecewaan yang mendalam.  Ia menjelsakan bahwa Presiden RI pernah mengatakan “ada Rp570 triliun pendapatan negara dari pajak yang berasumber dari industri smelter yang ada di Sulawesi Tengah. Tapi coba Bapak bayangkan setiap tahun DBH itu kami hanya mendapatkan Rp222 miliar” keluhnya.

BACA JUGA  Gubernur Sulteng Terima Direktur PT. Poso Energy, Dorong Percepatan PLTA Sungai Laa

Lebih lanjut, ia menyoroti paradoks kawasan industri di Sulteng yang justru menjadi “zona eksklusif” di mana pemerintah daerah tak berdaya. “Ini kawasan industri spesial, gubernur tidak boleh masuk. Semua berdalih kawasan industri tidak bisa diapa-apain, kami tidak bisa,” keluhnya, seolah membenturkan kepala pada tembok birokrasi yang kokoh.

Polemik utama yang diangkat adalah ketidaksesuaian mekanisme DBH dengan realitas industri pertambangan di Sulteng. Sang gubernur dengan gamblang memaparkan perbedaan krusial dalam pengenaan pajak antara PT Vale dan industri nikel di Morowali. “Dana bagi hasil dilakukan di mulut tambang, bukan di mulut industri,” tegasnya. Ia menjelaskan, PT Vale dikenakan Pajak Negara Bukan Pajak (PNBP) di mulut industri, sehingga yang dipajaki adalah nickel matte yang nilainya jauh lebih tinggi. Sementara di Morowali, pengenaan pajak masih berkutat pada nikel ore mentah.

BACA JUGA  Bupati Sigi Hadiri Langsung HUT Desa Sidondo IV yang ke-17

Dengan nada getir, sang gubernur berandai-andai jika pengenaan pajak di Morowali juga dilakukan di “mulut industri” saat nikel telah menjadi stainless steel. “Itu mungkin daerah kami, Sulteng, bisa menyamai PAD Jakarta atau Jawa Barat,” cetusnya, menggambarkan potensi pendapatan daerah yang hilang akibat kebijakan yang dianggapnya merugikan.

Namun, bara kemarahan sang gubernur kian membuncah tatkala menyinggung kebijakan tax holiday yang diberikan kepada para pengusaha tambang. “Yang jadi problem itu para pengusaha diberi tax holiday dan tax allowance 25 tahun, sementara nikel di Morowali tinggal 10 tahun,” ungkapnya dengan nada tak percaya. Kebijakan ini dinilai semakin menggerogoti potensi pendapatan daerah dalam jangka panjang, meninggalkan Sulteng dengan kerusakan lingkungan dan minimnya kontribusi ekonomi yang setimpal.

BACA JUGA  Resmi Pimpin Kabupaten Terkaya di Sulawesi Tengah, Iksan Ternyata Pernah Jadi Supir dan Kondektur

Aksi protes gubernur Sulteng di Senayan ini jelas bukan sekadar keluh kesah seorang kepala daerah. Ini adalah representasi dari jeritan daerah penghasil sumber daya alam yang merasa diperlakukan tidak adil dalam skema pembagian kekayaan negara. Pertanyaan besar kini menggantung: akankah suara lantang dari Sulteng ini mampu menggugah pemerintah pusat untuk meninjau ulang kebijakan DBH dan tax holiday yang dinilai merugikan daerah? Atau, Sulteng hanya akan terus menyaksikan negerinya “hancur-hancuran” demi pundi-pundi segelintir pengusaha dan kas negara yang tak sebanding dengan kerusakan yang ditanggung? Waktu dan kebijakan selanjutnya akan menjadi jawabannya. (Ap)

Berita Berbasis Data