Banjir Landa Palu, Aktivis Soroti Pembangunan yang Abaikan Ekologi

Pegiat lingkungan dari Ruang Setara (Rasera) Project, Fhirman Lapi, (Foto: Ist.)

PALU – Hujan dengan intensitas sedang yang mengguyur Kota Palu sejak Jumat pagi (25/04/2025) hingga menjelang malam menyebabkan banjir di sejumlah wilayah. Pantauan di lapangan menunjukkan genangan air setinggi betis orang dewasa merendam kawasan Komplek Pasar Inpres, Jalan Diponegoro, dan Komplek Rumah Sakit Undata Palu serta beberapa titiklainnya.

Banjir ini kembali mengganggu aktivitas warga dan merendam fasilitas umum, kantor, serta rumah penduduk. Peristiwa ini bukan kali pertama terjadi di Kota Palu, namun pola banjir kali ini dinilai semakin tidak menentu. Hanya dengan curah hujan beberapa jam, air dengan cepat meluap dari drainase yang diduga tidak mampu menampung debit air.

Pegiat lingkungan dari Ruang Setara (Rasera) Project, Fhirman Lapi, mengungkapkan kekecewaannya terhadap pemerintah daerah. Menurutnya, Rasera Project telah berulang kali mengingatkan pemerintah Kota dan Provinsi Sulawesi Tengah terkait dampak ekologis dari pembangunan yang masif. “Kami pegiat lingkungan sejak beberapa tahun terakhir seringkali mengingatkan pihak pemerintah Kota maupun provinsi sebelumnya, dengan intensnya berbagai pembangunan yang mengabaikan dampak ekologis mengakibatkan terjadinya banjir meluap di Kota Palu, namun nampaknya pemerintah mengabaikan problem substansial ini,” ujarnya.

BACA JUGA  Pemerintah Kota Palu Siapkan Mudik Gratis Lebaran 2025 dengan Target 3.000 Pemudik

Lapi menilai, akar masalah banjir di Kota Palu adalah “perampasan ruang” dan “kekacauan ruang” yang mengakomodasi pembangunan skala besar di wilayah resapan air. Ketidakseimbangan antara daya tampung dan debit air inilah yang menyebabkan luapan air ke jalan-jalan dan permukiman warga. Ia juga menyoroti potensi bahaya kiriman banjir dari hulu Sungai Palu yang belum memiliki skema mitigasi yang jelas.

Pihaknya juga mempertanyakan efektivitas proyek penanganan tiga sungai di Kota Palu (Sungai Palu, Sungai Kawatuna, dan Sungai Ngia) yang dikerjakan oleh Kementerian PUPR melalui Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi III Palu pada tahun 2023.

BACA JUGA  Berani Drag Palu: Event Balap Pembawa Berkah bagi UMKM Palu dan Warga Sekitar

Rasera Project menegaskan bahwa “lemahnya political will terhadap lingkungan, yang mengakibatkan ketidakseimbangan ruang, merupakan pintu masuk masalah ekologis di daerah ini.” Mereka mendesak adanya perubahan total terhadap kebijakan tata ruang yang telah disusun oleh Pemerintah Provinsi Sulteng dan Kota Palu. “Ambisi pembangunan tidak boleh berjalan hanya dengan perspektif pembangunan semata, namun ia harus dibarengi pemahaman ekologi, sehingga kepastian memberikan jaminan keselamatan dampak buruk bagi rakyat bisa terantisipasi,” tegas Lapi.

Kota Palu, yang tengah berbenah pascabencana, seharusnya memprioritaskan kesiapan dan perbaikan tata ruang, berkaca pada pengalaman sebelumnya. Apalagi, 17 kelurahan di Kota Palu masuk dalam zona merah kawasan rawan bencana, meliputi gempa bumi, tsunami, tanah longsor, dan banjir.

BACA JUGA  Upaya Selamatkan Bahasa Lokal , Disdikbud Gelar Festival Budaya "Tiga Etnis Satu Budaya"

Rasera Project menyoroti kesalahan fatal pemerintah yang dinilai hanya pro terhadap investasi tanpa mempertimbangkan aspek ekologis. Mereka merujuk pada hasil audit Kementerian Agraria dan Tata Ruang pada tahun 2019 yang menyebutkan kerugian negara mencapai Rp.619.937 triliun akibat kesalahan pemanfaatan ruang.

Atas dasar itu, Rasera Project mendesak pemerintah kota, provinsi, dan pusat untuk segera membenahi kekacauan ruang di Kota Palu dan Sulawesi Tengah secara luas. Mereka meminta agar isu bencana ekologis menjadi perhatian serius, bukan sekadar retorika, dengan melakukan perubahan dan penataan ruang kembali berdasarkan perspektif ekologi tanpa didikte oleh kepentingan modal, demi menjamin keselamatan warga. (Ap)

Berita Berbasis Data