Penulis: Muh. Taufik Tamauka
Memasuki ibadah puasa bulan suci Ramadhan, banyak dari umat muslim berlomba-lomba mencari berkah dan rahmat dibulan suci ini.
Menyambut bulan suci ramadhan, banyak tradisi unik yang dilakukan oleh setiap daerah di indonesia. Salah satunya yakni tradisi membangunkan orang-orang untuk sahur.
Jika di Jakarta punya tradisi ngarak beduk/beduk sahur, lain lagi jika di Morowali, khusunya wilayah eks kerajaan Bungku, Kampu Tobungku, punya “menara ndengu-ndengu” yang digunakan untuk membangunkan orang untuk sahur.
Menara ndengu-ndengu, merupakan bangunan yang sudah ada sejak ratusan tahun silam, namun bangunan ini hanya dapat ditemukan ketika bulan suci ramadhan saja. Menjelang bulan puasa, bangunan ini ramai berdiri tegak di berbagai pelosok wilayah Bungku.
Ndengu-ndengu sendiri merupakan menara bambu, yang berukuran berkisar 2×3 meter, memiliki ketinggian mulai dari 10-20 meter dengan pondasi dasar berupa empat batang bambu. Biasanya bangunan ini dibangun di halaman masjid ataupun di belakang pemukiman penduduk.
Diperlukan imajinasi luas dan mendalam untuk mendirikan/menghias ndengu-ndengu yang unik, sehingga mata tak henti-hentinya menoleh ke arah bangunan tersebut. Untuk mendirikan menara ndengu-ndengu, diperlukan waktu sekitar 1-2 minggu masa pengerjaan.
Di sinilah julukan para “calon imam” diuji, apakah mereka bisa membangun sebuah bangunan atau tidak. Percaya saja, membangun bangunan rumit saja mereka bisa, apalagi menjalani hubungan yang rumit.
Terkadang tak ada bantuan dari para lelaki dewasa, semua dilakukan secara gotong royong oleh para pemuda/remaja dengan mengandalkan imajinasi.
Sama seperti tradisi “angkat rumah” oleh Suku Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan, berdiri atau tidaknya sebuah bangunan bergantung pada kekompakan dan kerjasama mereka.
Pahlawan di bulan puasa.
Ketika malam menjelang, para remaja tidak akan menjadi tukang melego (berkeliaran). Karena keberadaan ndengu-ndengu ini, merupakan markas bagi para remaja yang tidak pulang setelah tarwih sambil menunggu waktu sahur. Banyak kegiatan dapat terjadi, seperti medome (main kartu), pembahasan yang dihinggapi canda dan tawa, adapula yang sekadar numpang tidur dan kegiatan-kegaiatan lainnya yang dapat mengusir rasa kantuk yang menghinggapi mereka.
Patut diacungi jempol semangat masa muda yang membara, merekalah pahlawan di bulan puasa. Pasalnya, di siang hari mereka harus menahan lapar dan haus, sementara di malam harinya menahan kantuk dan penat di saat yang lain sedang terlelap, sampai waktu sahur tiba.
Instrumen musik ndengu-ndengu.
Di dalam bangunan ndengu-ndengu, terdapat berbagai instrumen alat musik seperti gendang, gong, dan gamelan yang dipersiapkan untuk membangunkan orang-orang untuk sahur. Biasanya nih, jika alat musik seperti itu tidak ada, jalan pintasnya adalah mengambil peralatan rumah tangga tanpa sepengatuhan Mama. Galon, sendok, ember cat, semuanya disulap menjadi alat tetabuhan.

Malik salah seorang personel tetabuhan ini mengatakan, “Tidak perlu risau, entah nantinya rusak atau tidak, itu urusan belakangan, yang penting orang-orang terbangun.”
Tetabuhan tersebut dimainkan dengan suka cita, di atas menara ndengu-ndengu, sehingga tak perlu lagi keliling kampung untuk membangunkan orang sahur.
Personel tetabuhan tersebut terdiri dari 5-6 personel, ada yang memainkan gong, kulintang, pede-pede, ganda asa, ganda orua. Tetabuhan ini mulai dimainkan dari selepas pulang tarwih, sebagai penanda bahwa waktu tarwih telah usai, dilanjutkan pada pukul 01:00 sebagai tanda bahwa waktu sahur akan tiba, kemudian pada pukul 02:00 tetabuhan ini kembali dimainkan agar ibu-ibu mempersiapkan hidangan sahur, dan klimaksnya pada pukul 03:00 sebagai penanda bahwa waktu sahur telah tiba.
Instrumen Penyambut Tamu Raja
Instrumen musik ndengu-ndengu, dulunya dipergunkanan untuk menyambut tamu para raja, namun seiring berkembangnya jaman, kini tetabuhan tersebut juga diperuntukkan untuk membangunkan orang sahur.
Iramanya yang bervariasi bergantung pada kemampuan bermusik si pemain. Semakin bervariasi alat musiknya maka alunan musik juga akan semakin bervariasi.
Nuansa bulan suci ramadhan di wilayah Bungku memang selalu menarik untuk ditelisik. Zaman yang semakin modern tak menggerus tradisi yang telah turun-temurun dilakukan sejak dulu.
Mempertahankan budaya turun temurun memang perlu ditanamkan sejak usia dini, tak ayal bangunan ini selalu dilestarikan, sebagai ciri khas bulan ramadhan di daerah Bungku.
Leave a Reply